Gelanggang asing si bujang anyir
Di
gelangang perburuan perhelatan nagari
kumpulan
orang, tua-muda bersenda-tawa
saling
sindir, mencibir dan unjuk kehebatan
bangga,
dan yang paling pas adalah bentuk kesombongannya
hanya
karena kecakapan anjing miliknya, menyergap dan menangkap buruan
Lolongan
anjing bersahutan minta bagian, memekakkan telinga.
Seolah
seperti irama mantera yang selalu memanggil mereka
melakukan
“ritual” yang sama, “berburu”.
Di
sudut gelanggang, di dekat tunggul kayu surian yang meranggas,
merintih
karena hampir setiap petang
menjadi
tempat bakaran sisa buangan.
Si
bujang anyir muda mentah
umur baru
setahun jagung, darah baru setampuk pinang
duduk
termenung…
Nasibnya
tak semujur peburu lainnya
tak
tampak buruan yang dibawa
dan
belati masih terhunus di tangannya
“Oi
bujang mentah, malang nian nasibmu, mana buruanmu?”, suara lantang terdengar sambil
tertawa, membuyarkan lamunannya.
Seumpama
petir menggelegar menyambar,
membuat
telinga si bujang anyir panas bagai bara menyala
tak
ada cakap, diam dan tatapannya dingin…
Dalam
gelanggang perburuan, sindir-menyindir antara sesama
adalah
hal yang biasa, ketika pulang bertangan hampa.
Tapi
bagi si bujang anyir, bagai arang tersapu di muka!
Pabila
tak cukup tebal telinga
alamat
panas badan sampai ubun-ubun kepala
menyulut
amarah yang takkan terleraikan
apa
saja yang ada di depan mata terjangkau tangan akan disambarnya
seumpama
amarah keluang mencabik-cabik ranumnya mangga.
Terdengar
sayup bisikan lembut di telinganya…
“Bujang
anyir, sekali kau terbenam dalam liang gelap bernama kalap itu,
langitmu
dibuatnya seakan runtuh bagai hilang pancang, tanahmu dibuatnya seolah terus
berguncang”
Kau
inapkanlah petuah lama itu, wahai bujang anyir,
dan
tetaplah kau jernih berpikir, bersabarlah!
karena
sabar adalah obat segalanya.
Jika
kau tak sudi, bolehlah sekedar kau baca sebagai sampiran saja
Seumpama
pantun pelipur lara, obat demam belaka!
Tapi
isinya, sampai di mata jangan kau picingkan, tiba di perut jangan kau
kempiskan!
Suatu
masa, entah kapan dan entah dimana
kau
kan ingat petuah lama yang takkan pernah basi ini!
Jakarta,
20 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar