Jalan pulang berpalang buntu
Tak salah jika kau anggap ini bagai gulai yang hampir basi
yang sekedar dihangat-hangatkan lagi untuk disajikan kembali
Melihatnya saja sudah jelas tak mengundang seleramu
Apalagi berlama-lama duduk bersama denganku
yang sekedar dihangat-hangatkan lagi untuk disajikan kembali
Melihatnya saja sudah jelas tak mengundang seleramu
Apalagi berlama-lama duduk bersama denganku
Lidah yang tak sengaja terlanjur kebas
tak bisa menyisihkan yang manis ditelan dan yang sepah dibuang
apa saja yang di depan terjangkau tangan disambarnya
bagai tersudu amarah yang tak bisa terleraikan
tak bisa menyisihkan yang manis ditelan dan yang sepah dibuang
apa saja yang di depan terjangkau tangan disambarnya
bagai tersudu amarah yang tak bisa terleraikan
“Tak ada maksud membuat memar di hati, terlintas sajapun aku tak mampu”, lirihnya
Namun, semua pintu tlah kau katupkan rapat-rapat
Kini, seumpama meratapi “nasi sudah menjadi bubur”
tali putus, pasak lepas
tangga patah, penggalah pun tersangkut
Kini, seumpama meratapi “nasi sudah menjadi bubur”
tali putus, pasak lepas
tangga patah, penggalah pun tersangkut
Dalam rimba belantara, tak mudah menemukan jalan pulang
ketika rapatnya pepohonan dan semak belukar menyamarkan arah
tebalnya rumput dan lembah lumut dingin menjadi sekutuku
menemani hingga fajar menyibak menerangi jalan pulang
ketika rapatnya pepohonan dan semak belukar menyamarkan arah
tebalnya rumput dan lembah lumut dingin menjadi sekutuku
menemani hingga fajar menyibak menerangi jalan pulang
“Beri aku sari pati empedu tanah, biar yang buruk-buruk segera menguap dari diri dan berharap yang baik-baik tinggal mendarah daging dalam nyawa”
Kusiapkan seikat kata pinta yang ditata
dan dibungkus dengan daun pisang raja
berharap tangan terbuka…
dan dibungkus dengan daun pisang raja
berharap tangan terbuka…
Dan segala yang tak terbahasakan dalam doa,
biarlah harum mawar bunga yang menyampaikannya...
biarlah harum mawar bunga yang menyampaikannya...
Jakarta, 16 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar