Rimba Keramat Kuala Sungai Limau




1)
Apakah benar-benar (pernah) ada?
dan kini dimanakah gerangan hutan keramat itu?
Ataukah hanya tutur yang diwariskan di tengah rimba mistis?
Tempat segala pohon, manau, semak belukar, buluh,
umbi-umbian dan lumut berikat kata sepakat.
Ataukah hutan keramat milik para peladang bunian,  
di tempat mana segala pohon, segala batang, segala miang,
segala duri, segala semak, segala lumut bersembunyi di antara fakta dan fiksi?                       
Ataukah tempat bersemayamnya segala binatang melata, berbisa,
keluarga segala kera, simpai beruk hingga cigak?
Apatah mungkin juga di tempat mana badak bercula mandi kubangan, gajah tambun berkawanan dan singasana harimau tua bertahta?

Rindangnya sebatang jawi-jawi
tinggi serentang sayap elang …..
pertanda rimba keramat kuala sungai limau
di sisinya tegak sialang gagah berdiri
tempat bergantungnya hunian lebah madu
di akarnya mata air jernih mengalir tak henti
yang membuncah menjadi telaga jernih
berpusar melingkar mengikuti akar jawi-jawi
dan dibelokkan oleh batuan berlumut
sebelum jadi hulu sungai-sungai jernih.
Begitulah pusaran rimba keramat kuala sungai limau
Ruhnya harimau tua, semua patuh pada yang maha sakti…

-----------

2)
Di hamparan rimba tiga balai,
di tengah belantara rimba sunyi
kuik elang penanda siang menjelang
kokok ayam sayup di balik rimbun pepohonan
hunian tenteram orang petalangan
berpencar mengikuti sisi-sisi jalan tanah
mengarah ke uma-uma peladangan pinggir rimba

Bau khas rimba, lembut menyapa,
ketika hujan membelai lembab basah lekuk tanah.
Hidup bersandar pada keserasian hubungan sesama manusia,
keseimbangan alam semesta,
dan juga alam yang tak kasat mata, penguasa jagat raya

Penghuni petalangan, perimba, peladang,
penyasap madu, pencari manau, penakik getah,
pengumpul damar, penjerat kuau, menggantungkan hidup
pada hutan rimba, sumber segala penghidupan
begitu dekatnya, bagai tak berjarak,
seumpama sedekat urat nadi
ke lurah bertepi tidak, ke bukit mendaki bukan

-----------

3)
Tatkala seorang perimba yang katam kajinya,
tak ragu langkahnya, tempat bertanya hari baik,
meminta nasehat jalan, hafal benar kisaran angin,
tanda musim isyarat alam di luar kepala

Tersiar kabar dari ‘Patih’ tetua adat petalangan
“Si perimba tersesat di rimba belantara, karena melanggar pantangan rimba larangan”, katanya.
Terceguk, mendengarnya, antara percaya dan tidak.
Rimba yang tak berjarak lagi dengannya, telah menelannya bulat-bulat.

Sudah tiga purnama tak tampak batang hidungnya,
ada kabar ia kembali dalam wujud tak dikenal lagi,
desas-desus ia dipinang orang bunian,
orang halus yang berladang dan beranak-pinak di rimba keramat
atau tak sampailah umurnya jika bersua bigau,
yang wujudnya serupa kera besar, suka merobek dada
dan memakan mentah-mentah jantung manusia!

Patih pernah bertutur
jika tersesat langkah di belantara rimba raya,
seolah rapatnya pepohonan mengaburkan arah,
dan seolah semua arah penjuru mata angin berpalang buntu,
janganlah melangkah arah suara serupa ciap anak ayam!
jangan pula tersilap mendengar suara lesung bersahutan!
seolah ada yang sedang menumbuk padi di tengah hari,
pertanda perkampungan sejengkal lagi.
Sekali-kali jangan!
Karena bisa disesatkan jauh ke kampung orang bunian,
di tengah rimba belantara, jantung Sumatera!

-----------

4)
Didapat kabar dari terawangan ‘kumantan’
dukun besar yang takzim dan mampu bercakap dengan penghuni gaib.
Sambil berdiri, berkeliling, ia serakkan tepung tawar,
lalu duduk bersila.
Aroma mistis menyeruak ketika kemenyan dibakar,
belahan limau purut dan kembang mawar tampak berenang
dalam nampan berisi air.
Dikacaunya perlahan sambil menutur mantra,
membujuk penguasa rimba raya,
yang tak kasat mata…

“Ia tersesat”, katanya.
“Dibawa cindaku (manusia harimau yang tak punya lekuk hidung). Beruntung ia bisa melepaskan diri, lalu di perjalanan bersua orang pandak (orang pendek), berkawan ia dan dibawanya menelusuri hutan pesisir hingga ke seblat kerinci. Terus lesap menelusuri bukit barisan, menapaki garis petilasan tak kasat mata, rimba sumpur kudus, bukit tiga belas hingga rimba panti”.

Kumantan menghela nafas,
dihirupnya rokok kemenyan dalam-dalam
dikacaunya kembali air dalam nampan
tapi belahan limau itu, tetap tertelungkup
pertanda gelap peruntungan si perimba.

“Ia takkan kembali, baiknya lupakanlah! Tak elok merintang hari dengan dia yang pergi”.

Namanya pun perlahan mengabur
seolah dikubur dalam perut bumi, dan mulai dilupakan…
Pantangan bila mengganggu rimba keramat
bisa jadi petaka bagi negeri,
kemalangan dan penyakit akan datang silih berganti

Begitulah hutan keramat kuala sungai limau
menolak jejak lintasan, tanpa permisi!
Apalagi mata kapak dan beliung para peladang,
gergaji pembelah kayu, pun pisau raut penakik getah,
penjerat kuau, penyasap madu dan parang pencari manau

-----------

5)
Kini, dimanakah gerangan rimba keramat kuala sungai limau itu?
Tak ada lagi…
Seperti orang yang pergi, dipanggil-panggil tapi tak mau kembali.
Karena memang sudah tak ada…
Segala raungan mesin, tangan-tangan besi, gergaji raksasa,
telah merampas dan memusnahkannya…
Mereka penjaga rimba keramat itu, harimau tua yang disegani, orang bunian, orang pandak, cindaku, bigau? entah kemana mereka pergi?
Mungkin mereka pergi beriringan bersama punahnya orang petalangan…
Tutur yang diwariskan itu, tak mangkus lagi!

Tinggallah si perimba malang,
yang kena getahnya, menjadi kambing hitam,
tertuduh bagi tindakan yang tidak pernah dilakukannya.
Lari lintang-pukang, dikejar-kejar, ditembaki, diburu,
menyuruk di balik bukit.  
Siapa yang peduli?
Tak ada!
Karena tak ada untungnya bagi mereka!

Pantangan itu telah dilanggar
Rimba keramat telah musnah…
Kini, kita tuai petaka itu!
Panas dan asap dimana-mana…
Kering, tak ada air…
Kemalangan dan penyakit akan datang silih berganti!

Kami rindu…
Rindu akan adanya rimba keramat
Rindu tutur yang diwariskan turun-temurun itu…


Depok, April 2017

-----------



(didedikasikan bagi Suku Talang Mamak; Patih Sutan Muhammad di Talang Perigi,  Bathin Urusan di Talang Gedabu, di Daerah Tiga Balai, Pedalaman Indera Giri Hulu, Riau. Tak lupa Orangtua angkatku, Abah Khaharuddin dan Papi Syamsudin di Petonggan, Dusun Tua - apakah mereka masih ada?)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengembangan Komunikasi dan Informasi Bagi Masyarakat Perdesaan

Tersungkur di belantara rimba

Sensasi Dadiah, Prebiotik dari Ranah Minang