Perubahan Sosial melalui PNPM Mandiri Perdesaan
Pespektif
yang melandasi kerangka berpikir logis pelaksanaan
program pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-Perdesaan)
P
|
rogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan, merupakan program pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja
masyarakat miskin di perdesaan dengan membangun kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Artinya pemulihan hak-hak masyarakat dalam pembangunan menjadi koridor pencapaian
tujuan. Dengan demikian pulihnya hak-hak masyarakat dalam
pembangunan di setiap desa lokasi PNPM Mandiri Perdesaan merupakan suatu proses
yang menunjukkan tercapai tidaknya tujuan program.
Proses dan koridor tersebut
telah menempatkan PNPM Mandiri Perdesaan menggunakan perubahan sosial sebagai perspektif yang melandasi
kerangka berpikir logis pelaksanaannya. Menurut Selo Sumarjan, Perubahan Sosial
adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi
segi-segi struktur masyarakat lainnya. Perubahan sosial kadang juga disebut dengan
perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan adalah suatu perubahan yang terjadi terhadap
unsur-unsur kebudayaan.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut yakni sistem pengetahuan, sistem organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian/ekonomi, sistem
religi, bahasa dan kesenian.
Ditinjau
dari prosesnya, perubahan sosial dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu
perubahan dikehendaki atau direncanakan dan perubahan tidak dikehendaki atau
tidak direncanakan. Perubahan dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan
yang direncanakan oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam
masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki dan melakukan perubahan dinamakan agen
perubahan (agent of change). Agen
perubahan ‘memimpin’ masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam
melaksanakannya agen perubahan tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk
mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau
direncanakan selalu berada di bawah pengendalian atau pengawasan agen perubahan
tersebut. Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan
direncanakan terlebih dahulu sering dinamakan perencanaan sosial (social planning).
Berbeda
dengan perubahan yang direncanakan, perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak
direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki
berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan
timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Perubahan yang
tidak direncanakan ini secara tidak disadari terkadang juga menyertai perubahan
yang direncanakan.
Salah satu bentuk perubahan
yang dikehendaki atau direncanakan adalah Pembangunan Sosial. Meminjam definisi
dari James Midgley, pembangunan sosial adalah: "a process of planned
social change designed to promote well-being of the populatioan as a whole in
conjunction with a dynamic process of development" (suatu proses perubahan
sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
sebagai suatu keutuhan, pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan
dinamika proses pembangunan ekonomi).
Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa program yang menjadi pusat pehatian pembangunan sosial mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, dan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial lebih luas dari pembangunan ekonomi. Sesuai dengan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan merupakan suatu proses perubahan sosial yang direncanakan oleh pemerintah melalui pembangunan sosial.
Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa program yang menjadi pusat pehatian pembangunan sosial mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, dan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial lebih luas dari pembangunan ekonomi. Sesuai dengan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa PNPM Mandiri Perdesaan merupakan suatu proses perubahan sosial yang direncanakan oleh pemerintah melalui pembangunan sosial.
Perubahan Sosial
Terencana
M
|
elalui
perspektif perubahan sosial terencana, PNPM Mandiri Perdesaan ‘membawa’
seperangkat sistem nilai, sistem pengetahuan, konsep-konsep dan tata aturan yang
terlingkup dalam sistem pembangunan desa partisipatif yang diusungnya. Hakekat dari
sebuah sistem, sistem pembangunan desa partisipatif terdiri dari subsistem (unsur-unsur)
yang masing-masing mempunyai fungsi dan saling berhubungan, untuk menunjang
berfungsinya sistem yang lebih besar secara keseluruhan yaitu sistem
pembangunan desa. Sistem pembangunan tersebut pada prakteknya diabstraksikan
melalui sistem sosial. Sistem sosial adalah aktivitas-aktivitas anggota suatu
masyarakat yang berinteraksi, berhubungan dari waktu ke waktu yang berpola mantap
berdasarkan tata aturan tertentu. Sistem sosial tersebut dilingkupi oleh sistem
nilai, sistem norma yang menata tindakan dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi
di dalamnya untuk mewujudkan tujuannya.
Dalam operasionalisasinya,
PNPM Mandiri Perdesaan menginisiasi pembentukan lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang menjadi subsistem yang menopang berjalannya sistem tersebut. Lembaga kemasyarakatan
yang dimaksud mengacu pada suatu bentuk sekaligus mengandung pengertian yang
abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang
menjadi ciri lembaga tersebut. Dalam menyebut lembaga kemasyarakatan ini terkadang
juga dipakai istilah lembaga sosial.
Selanjutnya
untuk memfungsikannya dibentuk aturan atau norma-norma berdasarkan kesepakatanberlandaskan konsepsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam PNPM Mandiri Perdesaan
(prinsip-prinsip, misalnya partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kesetaraan
gender, dan pemihakan kepada masyarakat miskin), yang menjadi acuan bagi pelaku
untuk mengatur tindakan dan perilaku masyarakat yang berinteraksi di dalamnya. Norma-norma
berupa kesepakatan-kesepakatan tersebut dibangun melalui proses musyawarah,
lagi-lagi musyawarah yang dilakukan dilingkupi oleh nilai-nilai itu.
Dengan
pendekatan pemberdayaan yang digunakan, perubahan-perubahan diharapkan terjadi seiring dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola
sumber daya yang ada (dalam dan luar desa) untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi. Rangkaian proses program yang dimanifestasikan dalam bentuk berbagai
forum musyawarah yang dilembagakan, melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
maupun melestarikan hasil kegiatan, merupakan arena mempraktekkan serangkaian
tindakan dan perilaku yang dituntut oleh sistem nilai dan norma program. Praktek
ini adakalanya dilakukan secara berulang (siklus) agar menjadi suatu kebiasaan bagi
masyarakat dan berpola mantap.
Terkadang
untuk ‘mengikat’ anggota masyarakat agar norma tertentu atau tata aturan
tersebut ditaati, maka melalui intervensi dilakukan pula upaya peningkatan
kesadaran moral. Tata aturan yang dibentuk dijadikan sarana menumbuhkan rasa
tunduk dengan pemberlakuan sanksi yang dapat menciptakan “rasa takut” jika melanggarnya.
Pembiasaan mentaati tata aturan merupakan cikal bakal untuk menumbuhkan “rasa
malu” melanggar norma. Rasa takut dan malu ini lebih lanjut diharapkan
menumbuhkan adanya “rasa bersalah” baik secara individual maupun kolektif. Misalnya di
dalam pelaksanaan program, masyarakat menyepakti sanksi bagi kelompok Simpan
Pinjam khusus Perempuan (SPP) di suatu desa untuk ditunda penyaluran dana pergulirannya
jika ada kelompok SPP di desa tersebut yang masih menunggak, Pinjaman akan digulirkan
jika dalam jangka waktu tertentu kelompok yang menunggak tersebut sudah
menyelesaikannya. Adanya sanksi di tataran masyarakat membuat individu atau
kelompok tersebut merasa malu dan bersalah kepada kelompok lain dan masyarakat
desa secara keseluruhan. Dengan demikian mereka akan menyelesaikan
kewajibannya, dalam kasus ini biasanya sistem tanggung renteng yang diterapkan
dalam kelompok akan menjalankan fungsinya.
Suatu norma
atau aturan setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian
tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses ini dikenal dengan proses
pelembagaan (institutionalization),
yaitu suatu proses yang dilewatkan oleh suatu norma tertentu untuk menjadi
bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Artinya sampai norma itu oleh
masyarakat dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan
sehari-hari.
Proses Pelembagaan
S
|
uatu konsepsi,
nilai-nilai dan norma tertentu dikatakan telah melembaga (institutionalized), apabila konsepsi, nilai-nilai dan norma
tersebut telah: 1) diketahui, 2) pahami atau dimengerti, 3) ditaati, dan 4)
dihargai. Pada tahap awal, norma-norma tertentu tersebut sudah mulai melembaga
apabila telah diketahui oleh masyarakat, namun pada tahap ini taraf
pelembagaannya adalah rendah. Taraf pelembagaan suatu norma akan meningkat
apabila suatu norma dimengerti oleh masyarakat, dengan artian perilakunya
diatur oleh norma tersebut.
Selanjutnya apabila
anggota masyarakat sudah memahami norma-norma yang mengatur kehidupan
bersamanya, maka akan timbul kecenderungan untuk mentaatinya. Pentaatan
tersebut merupakan perkembangan selanjutnya dari proses pelembagaan suatu
norma. Apabila norma sudah diketahui, dimengerti dan ditaati, maka tidak
mustahil bahwa norma tersebut akan dihargai. Penghargaan tersebut merupakan
kelanjutan proses pelembagaan pada taraf yang lebih tinggi. Proses pelembagaan ini
sebenarnya tidak berhenti demikian saja, namun dapat berlangsung lebih jauh lagi
hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya menjadi institutionalized dalam masyarakat tetapi menjadi internalized. Artinya suatu taraf dimana
para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan perilaku
yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan perkataan lain
norma-norma tadi sudah mendarah daging (internalized).
Proses yang dilewati suatu norma tertentu, sehingga menjadi ‘milik’
suatu masyarakat dan menjadi acuan bagi anggotanya untuk berperilaku dinamakan
juga dengan sosialisasi. Sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses
‘belajar’ seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan memahami nilai-nilai,
sistem pengetahuan, sistem norma masyarakat sehingga terjadi pembentukan sikap
untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan atau perilaku masyarakatnya.
Mengacu pada pengertian tersebut, maka proses sosialisasi diawali dari
seseorang mengenal sistem nilai, sistem norma dan sistem pengetahuan
masyarakatnya, kemudian memahaminya lalu mentaati serta menghargainya sehingga
menjadi acuan untuk bersikap dan berprilaku sesuai dengan apa yang gariskan
oleh sistem nilai dan sistem norma tersebut. Seseorang anggota masyarakat
memperolehnya melalui suatu proses pembelajaran sosial.
Proses pembelajaran sosial terjadi melalui dua cara, (1) meniru perilaku
orang lain, dan (2) dikondisikan. Pada
cara pertama dengan meniru perilaku orang lain, atau dikenal juga dengan
nama “observational learning”.
Intinya adalah bahwa perilaku seseorang anggota masyarakat diperoleh melalui
proses peniruan perilaku orang lain. Seorang anggota masyarakat meniru perilaku
orang lain karena konsekuensi yang diterima oleh orang lain yang menampilkan
perilaku tersebut positif, dalam pandangan individu tadi. Jika kita ingin
mensosialisasikan hidup secara teratur dan disiplin, maka caranya adalah dengan
memberikan contoh. Di samping itu bisa juga menciptakan model yang layak untuk
ditiru.
Pada cara kedua
pembelajaran tersebut dikondisikan, dengan maksud agar seseorang anggota
masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakatnya.
Perilaku yang sekarang ditampilkan merupakan hasil konsekuensi positif atau
negatif dari perilaku yang sama sebelumnya. Seseorang anggota masyarakat akan
dipuji dan menerima ‘penghargaan’ jika memunculkan bentuk perilaku tertentu. Dengan
demikian jika generasi awal ingin melestarikan berbagai bentuk perilaku kepada
generasi sesudahnya, maka kepada setiap perilaku yang dianggap perlu
dilestarikan harus diberikan ‘imbalan’,
atau sebaliknya dengan ‘memberi hukuman’ merupakan cara untuk menghilangkan
perilaku tertentu.
Dalam konteks PNPM Mandiri Perdesaan, yang merupakan suatu program pembangunan
sosial yang membawa suatu perubahan dalam masyarakat, maka perubahan tersebut
dilakukan diawali dengan cara ‘menanamkan’ konsepsi, sistem nilai, sistem
norma, sistem pengetahuan dan sistem sosial yang ‘baru’ yang menyertai sistem
pembangunan desa partisipatif dengan menggunakan pendekatan pembelajaran sosial.
Dalam prosesnya, konsepsi, sistem nilai, sistem norma dan sistem sosial tersebut
diperkenalkan kepada warga masyarakat dengan mengkomunikasikannya melalui
berbagai media diantara media yang digunakan adalah melalui pertemuan formal-informal,
praktek-praktek sosial dan dukungan media lainnya (seperti panduan, petunjuk
teknis, paket informasi, poster, leaflet, flipchart) yang disebarluaskan kepada
masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan memahami berbagai informasi
seperti konsepsi, nilai-nilai, prosedur dan aturan program.
Selanjutnya di tataran masyarakat, melalui suatu proses tahapan yang
dikondisikan, masyarakat diharapkan memperoleh pembelajaran melalui praktek-praktek
sosial, forum-forum musyawarah, yang mana masyarakat saling berinteraksi memainkan
peran di dalamnya dalam rangka pemenuhan tuntutan sesuai konsepsi, nilai-nilai
dan sistem norma program. Proses-proses interaksi ini yang pada akhirnya
membentuk suatu sistem sosial ‘baru’ yang menempatkan kesamaan hak dan
kewajiban setiap warga masyarakat dalam pembangunan desa.
Sehubungan dengan hal itu, pengembangan teknik dan prosedur dalam
melaksanakan suatu kegiatan merupakan salah satu cara dalam mewujudkan konsepsi,
nilai-nilai dan norma agar menjadi tindakan yang sesuai dengan nilai budaya yang
dibawa program. Misalnya, di dalam musyawarah perencanaan di desa, yang
merupakan media pembelajaran bagi masyarakat yang ‘dilembagakan’ dalam proses pengambilan
keputusan perencanaan pembangunan desa, teknik dan prosedur yang dikembangkan
bertujuan untuk menjamin konsepsi dan nilai-nilai program seperti musyawarah
dalam pengambilan keputusan, keterlibatan aktif semua lapisan masyarakat
(terutama masyarakat miskin), transparansi dan akuntabilitas dapat berjalan.
Tantangan
P
|
raktek-praktek sosial dalam kerangka PNPM Mandiri Perdesaan dibiasakan dalam
aktivitas pembangunan desa. Dalam hal ini masyarakat bertindak sebagai subjek
pembangunan desanya. Perlu diakui bahwa proses yang dijalankan tidak selalu
berjalan lancar, banyak hambatan dalam melembagakan sistem tersebut. Dalam hal
ini, pelaku-pelaku program yang menjadi ‘agen perubahan’ dituntut untuk memainkan
peran dan fungsi sesuai status yang melekat pada dirinya. Peran dan fungsi
tersebut harus dimainkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma program. Sebagai
contoh seorang fasilitator yang merupakan salah satu agen perubahan yang
membawa konsepsi, sistem nilai dan sistem norma program ke dalam kehidupan
masyarakat, seyogyanya tercermin dalam pemikiran, sikap dan perilakunya dalam pelaksanaan
dan berinteraksi dengan masyarakat. Kesesuaian antara konsepsi, sistem nilai
dan norma dengan prilaku atau tindakan fasilitator mempengaruhi pelembagaan
sistem pembangunan desa dimaksud.
Diakui memang bahwa sistem pembangunan desa partisipatif tersebut tidak
serta merta melembaga sejalan dengan pelaksanaan program, namun berlangsung
secara bertahap. Berhasil tidaknya proses pelembagaan tergantung dari efektivitas
penanamannya.
Soejono Soekanto (1990) menjelaskan
bahwa efektivitas menanam merupakan hasil positif penggunaan tenaga
manusia, alat, organisasi dan metode di dalam menanamkan lembaga baru. Semakin
besar kemampuan tenaga manusia, alat-alat yang dipakai oleh organisasi yang
tertibnya dan sistem penanaman sesuai dengan kebudayaan masyarakat makin besar
pula hasil yang dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu. Akan
tetapi usaha menanamkan sesuatu unsur yang baru seringkali mengalami reaksi
dari beberapa golongan masyarakat yang dirugikan. Kekuatan menentang masyarakat
tersebut mempunyai pengaruh negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses
pelembagaan (institutionalization).
Dengan
demikian jelaslah bahwa apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan
menentang masyarakat besar maka kemungkinan suksesnya proses pelembagaan
menjadi kecil atau mungkin malah hilang sama sekali. Sebaliknya apabila
efektivitas menanam besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil maka jalannya
proses pelembagaan menjadi lancar. Berdasarkan hubungan timbal balik antara
kedua faktor yang berpangaruh positif dan negatif itu, orang bisa menambahkan
kelancaran proses pelembagaan dengan memperbesar efektivitas menanam dan atau
mengurangi kekuatan menentang masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan
kekuasaan untuk mengurangi kekuatan menentang masyarakat biasanya malah
memperbesar kekuatan tersebut. Hanya saja tentu ada kemungkinan bahwa kekuatan
menentang tidak menjelma menjadi aksi ke luar akan tetapi meresap ke dalam jiwa
dalam bentuk dendam atau benci. Perasaan demikian juga menghambat berhasilnya
proses pelembagaan.
Di samping
pengaruh positif dan negatif itu ada pula pengaruh dari faktor ketiga, yaitu
faktor kecepatan menanam. Artinya adalah panjang atau pendeknya jangka waktu
menanam itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Semakin tergesa-gesa
orang berusaha menanam dan semakin cepat pula mengharapkan hasilnya, semakin
tipis efeknya pelembagaannya dalam masyarakat. Sebaliknya makin tenang orang
berusaha menanam dan semakin cukup waktu yang diperhitungkan untuk menimbulkan
hasil dari usahanya, semakin besar hasilnya atau sebaliknya.
Efek
kecepatan usaha menanam tersebut, sebenarnya tidak dapat dilihat tersendiri,
akan tetapi selalu harus dihubungkan dengan faktor efektivitas menanamnya.
Apabila penambahan kecepatan menanam disertai dengan usaha menambah
efektivitas, maka hasilnya proses pelembagaan tidak akan berkurang. Hasil akan
berkurang jika kecepatan menanam saja yang ditambah tanpa memperbesar
efektivitasnya. Apabila kecepatan menanam diulur-ulur sampai tidak ada batas
waktunya sama sekali, maka kecenderungan pada efektivitas menanam menjadi
berkurang, karena kurang atau tidak ada dorongan untuk mencapai hasil.
Pertanyaannnya sekarang adalah bagaimana proses penanaman konsepsi,
nilai-nilai dan norma-norma program yang telah kita dilakukan? (hs_2010)
Daftar
Bacaan
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Penerbit
Djambatan.-------------------. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi.
----------------. 2006. Budaya dan Masyarakat.
Lauer, Robert. 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosila.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia,
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.
Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. UGM Press.
Komentar
Posting Komentar